Monday, November 17, 2014
Orgasme Yang Tertunda
"Masak apa Yen?" kataku sedikit mengejutkan adik iparku, yang saat itu
sedang berdiri sambil memotong-motong tempe kesukaanku di meja dapur.
"Ngagetin aja sih, hampir aja kena tangan nih," katanya sambil menunjuk
ibu jarinya dengan pisau yang dipegangnya.
"Tapi nggak sampe keiris kan?" tanyaku menggoda.
"Mbak Ratri mana Mas, kok nggak sama-sama pulangnya?" tanyanya tanpa
menolehku.
"Dia lembur, nanti aku jemput lepas magrib," jawabku.
"Kamu nggak ke kampus?" aku balik bertanya.
"Tadi sebentar, tapi nggak jadi kuliah. Jadinya pulang cepat."
"Aauww," teriak Yeyen tiba-tiba sambil memegangi salah satu jarinya. Aku
langsung menghampirinya, dan kulihat memang ada darah menetes dari jari
telunjuk kirinya.
"Sini aku bersihin," kataku sambil membungkusnya dengan serbet yang aku
raih begitu saja dari atas meja makan.
Yeyen nampak meringis saat aku menetesinya dengan Betadine, walau
lukanya hanya luka irisan kecil saja sebenarnya. Beberapa saat aku
menetesi jarinya itu sambil kubersihkan sisa-sisa darahnya. Yeyen nampak
terlihat canggung saat tanganku terus membelai-belai jarinya.
"Udah ah Mas," katanya berusaha menarik jarinya dari genggamanku. Aku
pura-pura tak mendengar, dam masih terus mengusapi jarinya dengan
tanganku.
Aku kemudian membimbing dia untuk duduk di kursi meja makan, sambil
tanganku tak melepaskan tangannya. Sedangkan aku berdiri persis di
sampingnya.
"Udah nggak apa-apa kok Mas, Makasih ya," katanya sambil menarik
tangannya dari genggamanku.
Kali ini ia berhasil melepaskannya.
"Makanya jangan ngelamun dong. Kamu lagi inget Ma si Novan ya?" godaku
sambil menepuk-nepuk lembut pundaknya.
"Yee, nggak ada hubungannya, tau," jawabnya cepat sambil mencubit
punggung lenganku yang masih berada dipundaknya.
Kami memang akrab, karena umurku dengan dia hanya terpaut 4 tahun saja.
Aku saat ini 27 tahun, istriku yang juga kakak dia 25 tahun, sedangkan
adik iparku ini 23 tahun.
"Mas boleh tanya nggak. Kalo cowok udah deket Ma temen cewek barunya,
lupa nggak sih Ma pacarnya sendiri?" tanyanya tiba-tiba sambil
menengadahkan mukanya ke arahku yang masih berdiri sejak tadi.
Sambil tanganku tetap meminjat-mijat pelan pundaknya, aku hanya
menjawab, "Tergantung."
"Tergantung apa Mas?" desaknya seperti penasaran.
"Tergantung, kalo si cowok ngerasa temen barunya itu lebih cantik dari
pacarnya, ya bisa aja dia lupa Ma pacarnya," jawabku sekenanya sambil
terkekeh.
"Kalo Mas sendiri gimana? Umpamanya gini, Mas punya temen cewek baru,
trus tu cewek ternyata lebih cantik dari pacar Mas. Mas bisa lupa nggak
Ma cewek Mas?" tanya dia.
"Hehe," aku hanya ketawa kecil aja mendengar pertanyaan itu.
"Yee, malah ketawa sih," katanya sedikit cemberut.
"Ya bisa aja dong. Buktinya sekarang aku deket Ma kamu, aku lupa deh
kalo aku udah punya istri," jawabku lagi sambil tertawa.
"Hah, awas lho ya. Ntar Yeyen bilangan lho Ma Mbak Ratri," katanya
sambil menahan tawa.
"Gih bilangin aja, emang kamu lebih cantik dari Mbak kamu kok," kataku
terbahak, sambil tanganku mengelus-ngelus kepalanya.
"Huu, Mas nih ditanya serius malah becanda."
"Lho, aku emang serius kok Yen," kataku sedikit berpura-pura serius.
Kini belaian tanganku di rambutnya, sudah berubah sedikit menjadi
semacam remasan-remasan gemas.
Dia tiba-tiba berdiri.
"Yeyen mo lanjutin masak lagi nih Mas. Makasih ya dah diobatin,"
katanya.
Aku hanya membiarkan saja dia pergi ke arah dapur kembali. Lama aku
pandangi dia dari belakang, sungguh cantik dan sintal banget body dia.
Begitu pikirku saat itu. Aku mendekati dia, kali ini berpura-pura ingin
membantu dia.
"Sini biar aku bantu," kataku sambil meraih beberapa lembar tempe dari
tangannya.
Yeyen seolah tak mau dibantu, ia berusaha tak melepaskan tempe dari
tangannya.
"Udah ah, nggak usah Mas," katanya sambil menarik tempe yang sudah aku
pegang sebagian.
Saat itu, tanpa kami sadari ternyata cukup lama tangan kami saling
menggenggam. Yeyen nampak ragu untuk menarik tangannya dari genggamanku.
Aku melihat mata dia, dan tanpa sengaja pandangan kami saling
bertabrakan. Lama kami saling berpandangan.
Perlahan mukaku kudekatkan ke muka dia. Dia seperti kaget dengan
tingkahku kali ini, tetapi tak berusaha sedikit pun menghindar. Kuraih
kepala dia, dan kutarik sedikit agar lebih mendekat ke mukaku. Hanya
hitungan detik saja, kini bibiku sudah menyentuh bibirnya.
"Maafin aku Yen," bisiku sambil terus berusaha mengulum bibir adik
iparku ini.
Yeyen tak menjawab, tak juga memberi respon atas ciumanku itu. Kucoba
terus melumati bibir tipisnya, tetapi ia belum memberikan respon juga.
Tanganku masih tetap memegang bagian belakang kepala dia, sambil
kutekankan agar mukanya semakin rapat saja dengan mukaku. Sementara
tangaku yang satu, kini mulai kulingkarkan ke pinggulnya dan kupeluk
dia.
"Sshh," Yeyen seperti mulai terbuai dengan jilatan demi jilatan lidahku
yang terus menyentuh dan menciumi bibirnya.
Seperti tanpa ia sadari, kini tangan Yeyen pun sudah melingkar di
pinggulku. Dan lumatanku pun sudah mulai direspon olehnya, walau masih
ragu-ragu.
"Sshh," dia mendesah lagi.
Mendengar itu, bibirku semakin ganas saja menjilati bibir Yeyen.
Perlahan tapi pasti, kini dia pun mulai mengimbangi ciumanku itu.
Sementara tangaku dengan liar meremas-remas rambutnya, dan yang satunya
mulai meremas-remas pantat sintal adik iparku itu.
"Aahh, mass," kembali dia mendesah.
Mendengar desahan Yeyen, aku seperti semakin gila saja melumati dan
sesekali menarik dan sesekali mengisap-isap lidahnya. Yeyen semakin
terlihat mulai terangsang oleh ciumanku. Ia sesekali terlihat
menggelinjang sambil sesekali juga terdengar mendesah.
"Mas, udah ya Mas," katanya sambil berusaha menarik wajahnya sedikit
menjauh dari wajahku.
Aku menghentikan ciumanku. Kuraih kedua tangannya dan kubimbing untuk
melingkarkannya di leherku. Yeyen tak menolak, dengan sangat ragu-ragu
sekali ia melingkarkannya di leherku.
"Yeyen takut Mas," bisiknya tak jauh dari ditelingaku.
"Takut kenapa, Yen?" kataku setengah berbisik.
"Yeyen nggak mau nyakitin hati Mbak Ratri Mas," katanya lebih pelan.
Aku pandangi mata dia, ada keseriusan ketika ia mengatakan kalimat
terakhir itu. Tapi, sepertinya aku tak lagi memperdulikan apa yang dia
takutkan itu. Kuraih dagunya, dan kudekatkan lagi bibirku ke bibirnya.
Yeyen dengan masih menatapku tajam, tak berusaha berontak ketika bibir
kami mulai bersentuhan kembali. Kucium kembali dia, dan dia pun
perlahan-lahan mulai membalas ciumanku itu. Tanganku mulai meremas-remas
kembali rambutnya.
Bahkan, kini semakin turun dan terus turun hingga berhenti persis di
bagian pantatnya. Pantanya hanya terbalut celana pendek tipis saja saat
aku mulai meremas-remasnya dengan nakal.
"Aahh, Mas," desahnya.
Mendengar desahannya, tanganku semakin liar saja memainkan pantat adik
iparku itu. Sementara tangaku yang satunya, masih berusaha mencari-cari
payudaranya dari balik kaos oblongnya. Ah, akhirnya kudapati juga buah
dadanya yang mulai mengeras itu.
Dengan posisi kami berdiri seperti itu, batang penisku yang sudah
menegang dari tadi ini, dengan mudah kugesek-gesekan persis di mulut
vaginanya. Kendati masih sama-sama terhalangi oleh celana kami
masing-masing, tetapi Yeyen sepertinya dapat merasakan sekali tegangnya
batang kemaluanku itu.
"Aaooww Mas," ia hanya berujar seperti itu ketika semakin kuliarkan
gerakan penisku persis di bagian vaginanya. Tanganku kini sudah memegang
bagian belakang celana pendeknya, dan perlahan-lahan mulai kuberanikan
diri untuk mencoba merosotkannya. Yeyen sepertinya tak protes ketika
celana yang ia kenakan semakin kulorotkan.
Otakku semakin ngeres saja ketika seluruh celananya sudah merosot
semuanya di lantai. Ia berusaha menaikan salah satu kakinya untuk
melepaskan lingkar celananya yang masih menempel di pergelangan kakinya.
Sementara itu, kami masih terus berpagutan seperti tak mau melepaskan
bibir kami masing-masing.
Dengan posisi Yeyen sudah tak bercelana lagi, gerakan-gerakan tanganku
di bagian pantatnya semakin kuliarkan saja. Ia sesekali menggelinjang
saat tanganku meremas-remasnya.
Untuk mempercepat rangsangannya, aku raih salah satu tanganya untuk
memegang batang zakarku kendati masih terhalang oleh celana jeansku.
Perlahan tangannya terus kubimbing untuk membukakan kancing dan kemudian
menurunkan resleting celanaku. Aku sedikit membantu untuk mempermudah
gerakan tangannya. Beberapa saat kemudian, tangannya mulai merosotkan
celanaku. Dan oleh tanganku sendiri, kupercepat melepaskan celana yang
kupakai, sekaligus celana dalamnya.
Kini, masih dalam posisi berdiri, kami sudah tak lagi memakai celana.
Hanya kemejaku yang menutupi bagian atas badanku, dan bagian atas tubuh
Yeyen pun masih tertutupi oleh kaosnya. Kami memang tak membuka itu.
Tanganku kembali membimbing tangan Yeyen agar memegangi batang zakarku
yang sudah menegang itu.
Kini, dengan leluasa Yeyen mulai memainkan batang zakarku dan mulai
mengocok-ngocoknya perlahan. Ada semacam tegangan tingi yang kurasakan
saat ia mengocok dan sesekali meremas-remas biji pelerku itu.
"Oohh," tanpa sadar aku mengerang karena nikmatnya diremas-remas seperti
itu.
"Mas, udah Mas. Yeyen takut Mas," katanya sambil sedikit merenggangkan
genggamannya di batang kemaluanku yang sudah sangat menegang itu.
"Aahh," tapi tiba-tiba dia mengerang sejadinya saat salah satu jariku
menyentuh klitorisnya. Lubang vagina Yeyen sudah sangat basah saat itu.
Aku seperti sudah kerasukan setan, dengan liar kukeluar-masukan salah
satu jariku di lubang vaginanya.
"Aaooww, mass, een, naakk.." katanya mulai meracau. Mendengar itu,
birahiku semakin tak terkendali saja.
Perlahan kuraih batang kemaluanku dari genggamannya, dan kuarahkan
sedikit demi sedikit ke lubang kemaluan Yeyen yang sudah sangat basah.
"Aaoww, aaouuww," erangnya panjang saat kepala penisku kusentuh-sentukan
persis di klitorisnya.
"Please, jangan dimasukin Mas," pinta Yeyen, saat aku mencoba mendorong
batang zakarku ke vaginanya.
"Nggak Papa Yen, sebentaar aja," pintaku sedikit berbisik ditelinganya.
"Yeyen takut Mas," katanya berbisik sambil tak sedikit pun ia berusaha
menjauhkan vaginanya dari kepala tongkolku yang sudah berada persis di
mulut guanya.
Tangan kiri Yeyen mulai meremas-remas pantatku, Sementara tangan
kanannya seperti tak mau lepas dari batang kemaluanku itu. Untuk sekedar
membuatnya sedikit tenang, aku sengaja tak langsung memasukan batang
kemaluanku. Aku hanya meminta ia memegangi saja.
"Pegang aja Yen," kataku pelan.
Yeyen yang saat itu sebenarnya sudah terlihat bernafsu sekali, hanya
mengangguk pelan sambil menatapku tajam. Remasan demi remasan jemari
yeyen di batang zakarku, dan sesekali di buah zakarnya, membuatku
kelojotan.
"Aku udah gak tahan banget Yen," bisikku pelan.
"Yeyen takut banget Mas," katanya sambil mengocok-ngocok lembut
kemaluanku itu.
"Aahh," aku hanya menjawabnya dengan erangan karena nikmatnya
dikocok-kocok oleh tangan lembut adik iparku itu.
Kembali kami saling berciuman, sementara tangan kami sibuk dengan
aktivitasnya masing-masing. Saat bersamaan dengan ciuman kami yang
semakin memanas, aku mencoba kembali untuk mengarahkan kepala tongkolku
ke lubang vaginanya. Saat ini, Yeyen tak berontak lagi. Kutekan pantat
dia agar semakin maju, dan saat bersamaan juga, tangan Yeyen yang sedang
meremas-remas pantatku perlahan-lahan mulai mendorongnya maju pantatku.
"Kita sambil duduk, sayang," ajaku sambil membimbing dia ke kursi meja
makan tadi. Aku mengambil posisi duduk sambil merapatkan kedua pahaku.
Sementara Yeyen kududukan di atas kedua pahaku dengan posisi pahanya
mengangkang.
Sambil kutarik agar dia benar-benar duduk di pahaku, tanganku kembali
mengarahkan batang kemaluanku yang posisinya tegak berdiri itu agar pas
dengan lubang vagina Yeyen. Ia sepertinya mengerti dengan maksudku,
dengan lembut ia memegang batang kemaluanku sambil berupaya mengepaskan
posisi lubang vaginanya dengan batang kemaluanku.
Dan bless, perlahan-lahan batang kemaluanku menusuk lubang vagina Yeyen.
"Aahh, aaooww, mass," Yeyen mengerang sambil kelojotan badannya.
Kutekan pinggulnya agar dia benar-benar menekan pantatnya. Dengan
demikian, batang tongkolku pun akan melesak semuanya masuk ke lubang
vaginanya.
"Yeenn," kataku.
"Aooww, ter, russ mass.., aahh.." pantatnya terus memutar seperti inul
sedang ngebor.
"Ohh, nik, nikmat banget mass.." katanya lagi sambil bibirnya melumati
mukaku.
Hampir seluruh bagian mukanku saat itu ia jilati. Untuk mengimbangi dia,
aku pun menjilati dan mengisap-isap puting susunya. Darahku semakin
mendidih rasanya saat pantatnya terus memutar-mutar mengimbangi gerakan
naik-turun pantatku.
"Mass, Yee, Yeeyeen mau," katanya terputus.
Aku semakin kencang menaik-turunkan gerakan pantatku.
"Aaooww mass, please mass" erangnya semakin tak karuan.
"Yee, Yeyeen mauu, kee, kkeeluaarr mass," ia semakin meracau.
Namun tiba-tiba, "Krriingg.."
"Aaooww, Mas ada yang datang Mas.." bisik Yeyen sambil tanpa hentinya
mengoyang-goyangkan pantatnya.
"Yenn," suara seseorang memanggil dari luar.
"Cepetan buka Yenn, aku kebelet nih," suara itu lagi, yang tak lain
adalah suara Ratri kakaknya sekaligus istriku.
"Hah, Mbak Ratri Mas," katanya terperanjat.
Yeyen seperti tersambar petir, ia langsung pucat dan berdiri melompat
meraih celana dalam dan celana pendeknya yang tercecer di lantai dapur.
Sementara aku tak lagi bisa berkata apa-apa, selain secepatnya meraih
celana dan memakainya. Sementara itu suara bel dan teriakan istriku
terus memanggil.
"Yeenn, tolong dong cepet buka pintunya. Mbak pengen ke air nih," teriak
istriku dari luar sana.
Yeyen yang terlihat panik sekali, buru-buru memakai kembali celananya,
sambil berteriak, "Sebentarr, sebentar Mbak.."
"Mas buruan dipake celananya," Yeyen masih sempet menolehku dan
mengingatkanku untuk secepatnya memakai celana.
Ia terus berlari ke arah pintu depan, setelah dipastikan semuanya beres,
ia membuka pintu. Aku buru-buru berlari ke arah ruang televisi dan
langsung merebahkan badan di karpet agar terlihat seolah-olah sedang
ketiduran.
"Gila," pikirku.
"Huu, lama banget sih buka pintunya? Orang dah kebelet kayak gini,"
gerutu istriku kepada Yeyen sambil terus menyelong ke kamar mandi.
"Iya sori, aku ketiduran Mbak," kata Yeyen begitu istriku sudah keluar
dari kamar mandi.
"Haa, leganyaa," katanya sambil meraih gelas dan meminum air yang
disodorkan oleh adiknya.
"Mas Jeje mana Yen?"
"Tuh ketiduran dari tadi pulang ngantor di situ," kata Yeyen sambil
menunjuk aku yang sedang berpura-pura tidur di karpet depan televisi.
"Ya ampun, Mas kok belum ganti baju sih?" kata istriku sambil
mengoyang-goyangkan tubuhku dengan maksud membangunkan.
"Pindah ke kamar gih Mas," katanya lagi.
Aku berpura-pura ngucek-ngucek mata, agar kelihatan baru bangun beneran.
Aku tak langsung masuk kamar, tapi menyolong ke dapur mengambil air
minum.
"Lho katanya pulang ntar abis magrib, kok baru jam setengah lima udah
pulang? Kamu pulang pake apa?" tanyaku berbasa-basi pada istriku.
"Nggak jadi rapatnya Mas. Pake taksi barusan," jawab dia.
"Lho, kamu lagi masak toh Yen? Kok belum kelar gini dah ditinggal tidur
sih?" kata istriku kepada Yeyen setelah melihat irisan-irisan tempe
berserakan di meja dapur.
"Mana berantakan, lagi," katanya lagi.
"Iya tadi emang lagi mo masak. Tapi nggak tahan ngantuk. Jadi kutinggal
tidur aja deh," Yeyen berusaha menjawab sewajarnya sambil senyum-senyum.
Sore itu, tanpa mengganti pakaiannya dulu, akhirnya istrikulah yang
melanjutkan masak. Yeyen membantu seperlunya. Sementara itu, aku hanya
cengar-cengir sendiri saja sambil duduk di kursi yang baru saja kupakai
berdua dengan Yeyen bersetubuh, walau belum sempat mencapai puncaknya.
"Waduh, kasihan Yeyen. Dia hampir aja sampai klimaksnya padahal barusan,
eh keburu datang nih mbaknya," kataku sambil nyengir melihat mereka
berdua yang lagi masak.
E N D
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Ini ceritaku entah berapa bulan lalu ketika sore aku aku sedang menghabiskan waktu selepas bekerja disebuah mall dijakarta. Penat bekerj...
-
Saya punya pengalaman sewaktu di massage oleh mas R,maaf saya posting pengalaman kami ya mas.. saya lihat millis ini makanya saya ingin se...
-
Kisah ini terjadi pada waktu aku duduk dipertengahan kelas 3 SMA dulu. Waktu itu nilai-nilai pelajaranku terutama matematika, fisika dan k...
-
Aku tugas ke kota Semarang untuk ngurusin kerjaanku, aku ngebut ngerjain kerjaan sampe ampir gak tidur supaya kerjaan cepet beres dan aku...
-
Cerita Sex . Bekerja sebagai auditor di perusahaan swasta memang sangat melelahkan. Tenaga, pikiran, semuanya terkuras. Apalagi kalau ada ...
No comments:
Post a Comment