pasang iklan

Monday, July 29, 2013

Ngentot Putri Sulung

Rambutnya yang lebat tumbuh terjaga selalu
di atas bahu. Meski rambutnya agak
kemerahan namun karena kulitnya yang
putih bersih, selalu saja menarik dipandang,
apalagi kalau berada dalam pelukan dan
dielus-elus. Perjumpaan di Yogya ini mengingatkan peristiwa sepuluh tahun lalu
ketika ia masih kuliah di sebuah perguruan
tinggi ternama di Yogya. Selama kuliah, ia
tinggal di rumah bude, kakak ibunya yang
juga kakak ibuku. Rumahku dan rumah bude
agak jauh dan waktu itu kami jarang ketemu Nana. Aku mengenalnya sejak kanak-kanak. Ia
memang gadis yang lincah, terbuka dan
tergolong berotak encer. Setahun setelah
aku menikah, isteriku melahirkan anak
kami yang pertama. Hubungan kami rukun
dan saling mencintai. Kami tinggal di rumah sendiri, agak di luar kota. Sewaktu
melahirkan, isteriku mengalami pendarahan
hebat dan harus dirawat di rumah sakit
lebih lama ketimbang anak kami. Sungguh
repot harus merawat bayi di rumah. Karena
itu, ibu mertua, ibuku sendiri, tante (ibunya Nana) serta Nana dengan suka rela
bergiliran membantu kerepotan kami.
Semua berlalu selamat sampai isteriku
diperbolehkan pulang dan langsung bisa
merawat dan menyusui anak kami. Hari-hari berikutnya, Nana masih sering
datang menengok anak kami yang katanya
cantik dan lucu. Bahkan, heran kenapa, bayi
kami sangat lekat dengan Nana. Kalau
sedang rewel, menangis, meronta-ronta
kalau digendong Nana menjadi diam dan tertidur dalam pangkuan atau gendongan
Nana. Sepulang kuliah, kalau ada waktu,
Nana selalu mampir dan membantu isteriku
merawat si kecil. Lama-lama Nana sering
tinggal di rumah kami. Isteriku sangat
senang atas bantuan Nana. Tampaknya Nana tulus dan ikhlas membantu kami. Apalagi
aku harus kerja sepenuh hari dan sering
pulang malam. Bertambah besar, bayi kami
berkurang nakalnya. Nana mulai tidak
banyak mampirke rumah. Isteriku juga
semakin sehat dan bisa mengurus seluruh keperluannya. Namun suatu malam ketika
aku masih asyik menyelesaikan pekerjaan
di kantor, Nana tiba-tiba muncul. "Ada apa Na, malam-malam begini."
"Mas Danu, tinggal sendiri di kantor?"
"Ya, Dari mana kamu?"
"Sengaja kemari."
Nana mendekat ke arahku. Berdiri di
samping kursi kerja. Nana terlihat mengenakan rok dan T-shirt warna
kesukaannya, pink. Tercium olehku bau
parfum khas remaja. "Ada apa, Nana?"
"Mas... aku pengin seperti Mbak Tari."
"Pengin? Pengin apanya?" Nana tidak
menjawab tetapi malah melangkah kakinya
yang putih mulus hingga berdiri persis di
depanku. Dalam sekejap ia sudah duduk di pangkuanku.
"Nana, apa-apaan kamu ini.." Tanpa
menungguku selesai bicara, Nana sudah
menyambarkan bibirnya di bibirku dan
menyedotnya kuat-kuat. Bibir yang selama
ini hanya dapat kupandangi dan bayangkan, kini benar-benar mendarat keras.
Kulumanya penuh nafsu dan nafas halusnya
menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat
dan menari lincah dalam rongga mulutku. Ia
mencari lidahku dan menyedotnya kuat-
kuat. Aku berusaha melepaskannya namun sandaran kursi menghalangi. Lebih dari itu,
terus terang ada rasa nikmat setelah
berbulan-bulan tidak berhubungan intim
dengan isteriku. Nana merenggangkan
pagutannya dan katanya, "Mas, aku selalu
ketagihan Mas. Aku suka berhubungan dengan laki-laki, bahkan beberapa dosen
telah kuajak beginian. Tidak bercumbu
beberapa hari saja rasanya badan panas
dingin. Aku belum pernah menemukan laki-
laki yang pas." Kuangkat tubuh Nana dan kududukkan di
atas kertas yang masih berserakan di atas
meja kerja. Aku bangkit dari duduk dan
melangkah ke arah pintu ruang kerjaku.
Aku mengunci dan menutup kelambu
ruangan. "Na.. Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah
empat bulan tidak bercumbu dengan Tari."
"Jadikan aku Mbak Tari, Mas. Ayo," kata
Nana sambil turun dari meja dan
menyongsong langkahku.
Ia memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk sepenuhnya menempel di
dadaku. Terasa pula penisku yang telah
mengeras berbenturan dengan perut bawah
pusarnya yang lembut. Nana merapatkan
pula perutnya ke arah kemaluanku yang
masih terbungkus celana tebal. Nana kembali menyambar leherku dengan
kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir
artis terkenal. Aliran listrik seakan
menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu
menyambut keliaran Nana. Namun ketika
kenikmatan tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh, menjadi mubazir belaka melepas
kesempatanini. "Kamu amat bergairah, Nana.." bisikku lirih
di telinganya.
"Hmmm... iya... Sayang.." balasnya lirih
sembari mendesah.
"Aku sebenarnya menginginkan Mas sejak
lama... ukh..." serunya sembari menelan ludahnya.
"Ayo, Mas... teruskan.."
"Ya Sayang. Apa yang kamu inginkan dari
Mas?"
"Semuanya," kata Nana sembari tangannya
menjelajah dan mengelus batang kemaluanku. Bibirnya terus menyapu
permukaan kulitku di leher, dada dan
tengkuk. Perlahan kusingkap T-Shirt yang
dikenakannya. Kutarik perlahan ke arah
atas dan serta merta tangan Nana telah
diangkat tanda meminta T-Shirt langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke atas meja.
Kedua jemariku langsung memeluknya kuat-
kuat hingga badan Nana lekat ke dadaku.
Kedua bukitnya menempel kembali, terasa
hangat dan lembut. Jemariku mencari
kancing BH yang terletak di punggungnya. Kulepas perlahan, talinya, kuturunkan
melalui tangannya. BH itu akhirnya jatuh ke
lantai dan kini ujung payudaranya
menempel lekat ke arahku. Aku melorot
perlahan ke arah dadanya dan kujilati penuh
gairah. Permukaan dan tepi putingnya terasa sedikit asin oleh keringat Nana,
namun menambah nikmat aroma gadis
muda. Tangan Nana mengusap-usap rambutku dan
menggiring kepalaku agar mulutku segera
menyedot putingnya. "Sedot kuat-kuat Mas,
sedooottt..." bisiknya. Aku memenuhi
permintaannya dan Nana tak kuasa
menahan kedua kakinya. Ia seakan lemas dan menjatuhkan badan ke lantai berkarpet
tebal. Ruang ber-AC itu terasa makin hangat.
"Mas lepas..." katanya sambil telentang di
lantai. Nana meminta aku melepas pakaian.
Nana sendiri pun melepas rok dan celana
dalamnya. Aku pun berbuat demikian namun masih kusisakan celana dalam. Nana melihat
dengan pandangan mata sayu seperti tak
sabar menunggu. Segera aku menyusulnya,
tiduran di lantai. Kudekap tubuhnya dari
arah samping sembari kugosokkan telapak
tanganku ke arah putingnya. Nana melenguh sedikit kemudian sedikit memiringkan
tubuhnya ke arahku. Sengaja ia segera
mengarahkan putingnya ke mulutku. "Mas sedot Mas... teruskan, enak sekali
Mas... enak..." Kupenuhi permintaannya
sembari kupijat-pijat pantatnya. Tanganku
mulai nakal mencari selangkangan Nana.
Rambutnya tidak terlalu tebal namun
datarannya cukup mantap untuk mendaratkan pesawat "cocorde" milikku.
Kumainkan jemariku di sana dan Nana
tampak sedikit tersentak. "Ukh... khmem..
hsss... terus... terus," lenguhnya tak jelas.
Sementara sedotan di putingnya
kugencarkan, jemari tanganku bagaikan memetik dawai gitar di pusat
kenikmatannya. Terasa jemari kanan
tengahku telah mencapai gumpalan kecil
daging di dinding atas depan vaginanya,
ujungnya kuraba-raba lembut berirama.
Lidahku memainkan puting sembari sesekali menyedot dan menghembusnya. Jemariku
memilin klitoris Nana dengan teknik petik
melodi. Nana menggelinjang-gelinjang, melenguh-
lenguh penuh nikmat. "Mas... Mas... ampun...
terus, ampun... terus ukhhh..." Sebentar
kemudian Nana lemas. Namun itu tidak
berlangsung lama karena Nana kembali
bernafsu dan berbalik mengambil inisitif. Tangannya mencari-cari arah kejantananku.
Kudekatkan agar gampang dijangkau,
dengan serta merta Nana menarik celana
dalamku. Bersamaan dengan itu melesat
keluar pusaka kesayangan Tari. Akibatnya,
memukul ke arah wajah Nana. "Uh... Mas... apaan ini," kata Nana kaget. Tanpa
menunggu jawabanku, tangan Nana
langsung meraihnya. Kedua telapak
tangannya menggenggam dan mengelus
penisku. "Mas... ini asli?"
"Asli, 100 persen," jawabku.
Nana geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya
menyambar cepat ke arah permukaan
penisku yang berdiameter 6 cm dan panjang
19 cm itu, sedikit agak bengkok ke kanan. Di bagian samping kanan terlihat menonjol
aliran otot keras. Bagian bawah kepalanya,
masih tersisa sedikit kulit yang
menggelambir. Otot dan gelambiran kulit
itulah yang membuat perempuan bertambah
nikmat merasakan tusukan senjata andalanku. "Mas, belum pernah aku melihat penis
sebesar dan sepanjang ini."
"Sekarang kamu melihatnya, memegangnya
dan menikmatinya."
"Alangkah bahagianya MBak Tari."
"Makanya kamu pengin seperti dia, kan?" Nana langsung menarik penisku. "Mas, aku
ingin cepat menikmatinya. Masukkan, cepat
masukkan."
Nana menelentangkan tubuhnya. Pahanya
direntangkannya. Terlihat betapa mulus
putih dan bersih. Diantara bulu halus di selangkangannya, terlihat lubang vagina
yang mungil. Aku telah berada di antara
pahanya. Exocet-ku telah siap meluncur.
Nana memandangiku penuh harap. "Cepat Mas, cepat.."
"Sabar Nana. Kamu harus benar-benar
terangsang, Sayang..."
Namun tampaknya Nana tak sabar. Belum
pernah kulihat perempuan sekasar Nana.
Dia tak ingin dicumbui dulu sebelum dirasuki penis pasangannya. "Cepat Mas..." ajaknya
lagi. Kupenuhi permintaannya, kutempelkan
ujung penisku di permukaan lubang
vaginanya, kutekan perlahan tapi sungguh
amat sulit masuk, kuangkat kembali namun
Nana justru mendorongkan pantatku dengan kedua belah tangannya. Pantatnya sendiri
didorong ke arah atas. Tak terhindarkan,
batang penisku bagai membentur dinding
tebal. Namun Nana tampaknya ingin main
kasar. Aku pun, meski belum terangsang
benar, kumasukkan penisku sekuat dan sekencangnya. Meski perlahan dapat
memasukirongga vaginanya, namun terasa
sangat sesak, seret, panas, perih dan sulit.
Nana tidak gentar, malah menyongsongnya
penuh gairah. "Jangan paksakan, Sayang.." pintaku.
"Terus. Paksa, siksa aku. Siksa... tusuk aku.
Keras... keras jangan takut Mas, terus.." Dan
aku tak bisa menghindar. Kulesakkan keras
hingga separuh penisku telah masuk. Nana
menjerit, "Aouwww.. sedikit lagi.." Dan aku menekannya kuat-kuat. Bersamaan dengan
itu terasa ada yang mengalir dari dalam
vagina Nana, meleleh keluar. Aku melirik,
darah... darah segar. Nana diam. Nafasnya
terengah-engah. Matanya memejam. Aku
menahan penisku tetap menancap. Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi
ketegangannya, kucari ujung puting Nana
dengan mulutku. Meski agak membungkuk,
aku dapat mencapainya. Nana sedikit
berkurang ketegangannya. Beberapa saat kemudian ia memintaku
memulai aktivitas. Kugerakkan penisku
yang hanya separuh jalan, turun naik dan
Nana mulai tampak menikmatinya.
Pergerakan konstan itu kupertahankan
cukup lama. Makin lama tusukanku makin dalam. Nana pasrah dan tidak sebuas tadi. Ia
menikmati irama keluar masuk di liang
kemaluannya yang mulai basah dan
mengalirkan cairan pelicin. Nana mulai
bangkit gairahnya menggelinjang dan
melenguh dan pada akhirnya menjerit lirih, "Uuuhh.. Mas... uhhh... enaakkkk..
enaaakkk... Terus... aduh... ya ampun
enaknya.." Nana melemas dan terkulai.
Kucabut penisku yang masih keras,
kubersihkan dengan bajuku. Aku duduk di
samping Nana yang terkulai. "Nana, kenapa kamu?"
"Lemas, Mas. Kamu amat perkasa."
"Kamu juga liar." Nana memang sering berhubungan dengan
laki-laki. Namun belum ada yang berhasil
menembus keperawanannya karena selaput
daranya amat tebal. Namun perkiraanku,
para lelaki akan takluk oleh garangnya
Nana mengajak senggama tanpa pemanasan yang cukup. Gila memang anak itu, cepat
panas. Sejak kejadian itu, Nana selalu ingin
mengulanginya. Namun aku selalu
menghindar. Hanya sekali peristiwa itu
kami ulangi di sebuah hotel sepanjang hari.
Nana waktu itu kesetanan dan kuladeni
kemauannya dengan segala gaya. Nana mengaku puas. Setelah lulus, Nana menikah dan tinggal di
Palembang. Sejak itu tidak ada kabarnya.
Dan, ketika pulang ke Yogya bersama
anaknya, aku berjumpa di rumah bude.
"Mas Danu, mau nyoba lagi?" bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk. "Masih gede juga?" tanyanya menggoda.
"Ya, tambah gede dong."
Dan malamnya, aku menyambangi di hotel
tempatnya menginap. Pertarungan pun
kembali terjadi dalam posisi sama-sama
telah matang. "Mas Danu, Mbak Tari sudah bisa dipakai
belum?" tanyanya.
"Belum, dokter melarangnya," kataku
berbohong.
Dan, Nana pun malam itu mencoba
melayaniku hingga kami sama-sama terpuaskan.

No comments:

Post a Comment

pasang iklan